SHALAT BERJAMAAH

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
A. Hukumnya
Hukum shalat berjama’ah adalah fardhu ‘ain bagi pria yang telah terkena kewajiban shalat, kecuali ada halangan:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبُ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَـالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ. وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِيْنًا أَوْ مِرْمَـاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ، لَشَهِدَ الْعِشَاءَ.
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya aku bertekad untuk menyuruh seseorang agar mengumpulkan kayu bakar, lalu aku menyuruh shalat dan diserukan untuknya. Kemudian kusuruh seorang laki-laki mengimami manusia. Setelah itu kudatangi orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah dan kubakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Andai salah seorang di antara mereka tahu bahwa ia akan memperoleh sepotong daging gemuk dan dua kaki (daging) hewan berkuku belah yang baik, niscaya ia akan mendatangi shalat ‘isya’.”[1]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang laki-laki buta. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mempunyai seorang pemandu yang menuntunku ke masjid.’ Kemudian dia meminta keringanan untuk shalat di rumahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberinya keringanan. Ketika dia berbalik, beliau memanggilnya, lalu berkata, “Apakah engkau mendengar adzan shalat?” Dia berkata, “Ya.” Beliau lantas berkata, “Kalau begitu datanglah (untuk shalat berjama’ah).”[2]
Dari ‘Abdullah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Barangsiapa yang suka bila kelak menemui Allah dalam keadaan muslim, maka hendaklah ia senantiasa menjaga shalat-shalat (wajib) ini ketika diseru kepadanya. Sesungguhnya Allah telah mensyari’atkan petunjuk kebenaran bagi Nabi kalian. Dan shalat berjama’ah termasuk petunjuk kebenaran. Jika kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana orang yang ketinggalan ini shalat di rumahnya, maka kalian telah meninggalkan petunjuk Nabi kalian. Jika kalian meninggalkan petunjuk Nabi kalian, niscaya sesatlah kalian. Tidaklah seorang laki-laki berwudhu’ lalu ia menyempurnakan wudhu’nya lantas ia menuju salah satu masjid, kecuali Allah mencatat setiap langkah yang ia jalani sebagai satu kebaikan. Dengan langkah itu Allah mengangkatnya satu derajat. Dan dengannya pula Allah menghapuskan satu keburukan darinya. Sungguh, telah kuamati keadaan kami (para Sahabat). Dan tidak ada yang ketinggalan dari shalat jama’ah melainkan orang munafiq yang telah dikenal kemunafikannya. Sungguh, dulu pernah ada seorang laki-laki yang diapit (dituntun) oleh dua orang laki-laki hingga didirikan pada shaff.”[3]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ، إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ.
“Barangsiapa mendengar adzan, kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya (tidak sempurna shalatnya-ed.) kecuali ia memiliki halangan.”[4]
B. Keutamaannya
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةُ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً.
“Shalat berjama’ah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.”[5]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلاَةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلاَتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوْقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِيْنَ ضَعْفًا، وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ، لَمْ يَخْطُ خُطْوَةً إِلاَّ رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةٌ، فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلِ الْمَلاَئِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلاَّهُ: “اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ، اَللّهُمَّ ارْحَمْهُ،” وَلاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِيْ صَلاَةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاَةَ.
“Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah lebih utama (dilipatgandakan ganjarannya) dua puluh lima kali lipat dibandingkan shalatnya di rumah dan di pasarnya. Karena jika dia berwudhu’ lalu menyempurnakan wudhu’nya. Kemudian keluar menuju masjid hanya untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkah kecuali dengan satu langkah itu derajatnya diangkat. Dan dengan langkah itu satu kesalahannya dihapuskan. Jika dia shalat, maka Malaikat senantiasa mendo’akannya selama dia berada di tempat shalatnya: ‘Ya Allah, selamatkanlah dia. Ya Allah, rahmatilah dia.’ Salah seorang di antara kalian senantiasa (dianggap) dalam shalat selama dia menunggu shalat.”[6]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm, beliau bersabda:
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ وَرَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ نَزْلَهُ مِنَ الْجَنَّةِ كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ.
“Barangsiapa pergi ke masjid lalu kembali, maka Allah menyediakan karunia-Nya dari Surga baginya saat pergi dan kembali.”[7]
C. Apakah Wanita Juga Menghadiri Shalat Jama’ah?
Dibolehkan bagi wanita mendatangi masjid dan mengikuti shalat jama’ah. Dengan syarat menghindari hal-hal yang membangkitkan syahwat dan menimbulkan fitnah, seperti perhiasan dan parfum.[8]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ.
“Janganlah kalian melarang isteri-isteri kalian mendatangi masjid. Sedangkan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” [9]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بُخُوْرًا فَلاَ تَشْهَدْنَ مَعَنَا الْعِشَاءَ اْلآخِرَةَ.
“Wanita mana saja yang memakai wewangian, maka janganlah ia shalat ‘Isya’ di waktu akhir bersama kami.”[10]
Dan darinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ، لكِنْ وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ.
“Janganlah kalian halangi para hamba wanita Allah menghadiri masjid-masjid Allah. Jika mereka hendak keluar juga, maka hendaknya mereka tidak mengenakan wangi-wangian.” [11]
Rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.
Sekalipun wanita diperbolehkan mendatangi masjid, hanya saja shalat mereka di dalam rumah-rumah mereka lebih utama.
Dari Ummu Humaid as-Sa’idiyyah Radhiyallahu anha. Dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya senang shalat bersamamu.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya saya mengetahui bahwa engkau senang shalat bersamaku. Namun, shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di tempat tinggalmu. Dan shalatmu di tempat tinggalmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.”[12]
D. Adab Berjalan ke Masjid
Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Ketika kami shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau mendengar suara gaduh orang-orang. Tatkala beliau selesai shalat, beliau bertanya, ‘Ada apa dengan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami mendatangi shalat dengan tergesa-gesa.’ Beliau bersabda, ‘Janganlah kalian melakukannya lagi. Jika kalian mendatangi shalat, maka bersikap tenanglah. Apa yang kalian dapati, maka shalatlah. Dan apa yang terlewatkan oleh kalian, maka sempurnakanlah.’”[13]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقَـامَةَ فَامْشَوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ وَالْوِقَارِ، وَلاَ تَسْرَعُوْا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا.
“Jika kalian mendengar iqamat, maka datangilah shalat dengan tenang, santai, dan tidak tergesa-gesa. Apa yang kalian dapati, maka shalatlah. Dan apa yang kalian lewatkan, maka sempurnakanlah.” [14]
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُـوْءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَـامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَشْبِكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَإِنَّهُ فِيْ صَلاَةٍ.
“Jika salah seorang di antara kalian berwudhu’ lalu menyempurnakan wudhu’nya. Kemudian keluar menuju masjid, maka janganlah ia menyilangkan jari-jemarinya, karena dia sedang dalam shalat.”[15]
1. Do’a keluar rumah
Bacaan yang diucapkan ketika keluar rumah.
Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَالَ -يَعْنِي إِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ- “بِسْمِ اللهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ”، يُقَالُ لَهُ: هُدِيْتَ وَكُفِيْتَ وَوُقِيْتَ وَتَنَحَّى عَنْهُ الشَّيْطَانُ.
“Barangsiapa yang ketika keluar rumahnya mengucap: ‘Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada Allah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah.’ Maka dikatakan padanya, ‘Engkau telah diberikan petunjuk, tercukupi, terlindungi, dan syaitan menjauhimu.”[16]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwasanya ia tidur di rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menggambarkan shalat malam beliau. Dia berkata, “Lalu mu-adzin mengumandangkan adzan dan beliau keluar untuk shalat sambil mengucap:
“اَللّهُمَّ اجْعَلْ فِيْ قَلْبِي نُوْرًا، وَفِيْ لِسَانِي نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ سَمْعِـي نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ بَصَرِي نُوْرًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُوْرًا وَمِنْ أَمَـامِي نُوْرًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُوْرًا وَمِنْ تَحْتِي نُوْرًا، اَللّهُمَّ أَعْطِنِي نُوْرًا.”
“Ya Allah, jadikanlah cahaya dalam hatiku, lisan, pendengaran, dan penglihatanku. Jadikanlah cahaya dari belakangku, depan, atas, dan bawahku. Ya Allah, berilah aku cahaya.” [17]
2. Do’a masuk masjid
Bacaan yang diucapkan ketika memasuki masjid:
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika beliau masuk masjid beliau mengucap:
“أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.”
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dengan Wajah-Nya Yang mulia, dan dengan kekuasaan-Nya yang terdahulu dari godaan syaitan yang terkutuk.” [18]
Dari Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk masjid, beliau mengucap:
بِسْمِ اللهِ، وَالسَّلاَمُ عَلى رَسُوْلِ اللهِ، اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذُنُوْبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
“Dengan Nama Allah. Semoga kesejahteraan tercurah atas Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukakan-lah pintu rahmat-Mu bagiku.”
Dan apabila keluar, beliau mengucap:
“بِسْمِ اللهِ، وَالسَّلاَمُ عَلى رَسُوْلِ اللهِ، اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوْبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ.
“Dengan nama Allah. Semoga kesejahteraan tercurah atas Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukakan-lah pintu karunia-Mu bagiku.” [19]
3. Shalat Tahiyyatul Masjid
Jika seseorang masuk masjid, maka dia wajib shalat dua raka’at sebelum duduk.
Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ.
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah ia duduk terlebih dahulu sampai ia melaksanakan shalat dua raka’at.” [20]
Saya katakan bahwa hal ini wajib, disebabkan zhahir perintah dalam hadits di atas, dimana tidak terdapat indikasi yang memalingkannya dari zhahir tersebut. Kecuali hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah, “Seorang Arab Badui menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan rambut acak-acakan. Dia kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang shalat yang diwajibkan Allah bagiku.’ Beliau menjawab, “Shalat lima waktu, kecuali jika engkau menambah (dengan shalat sunnah)…”
“Menurut saya, menjadikan hadits ini sebagai dalil bagi tidak wajibnya shalat yang baru saja disebutkan masih harus ditinjau kembali, karena apa yang terjadi pada awal pembelajaran tidak bisa dijadikan sebagai pegangan untuk memalingkan (wajibnya) perkara-perkara yang datang sesudahnya. Jika tidak demikian, maka kewajiban-kewajiban syari’at hanya terbatas pada shalat lima waktu yang disebutkan saja. Ini menyelisihi ijma’ dan meniadakan mayoritas ajaran agama. Yang benar adalah mengambil dalil yang terakhir jika memang ada dalil yang shahih. Setelah itu mengamalkan isinya, baik itu wajib, sunnah, atau yang semisalnya. Dalam masalah ini memang terdapat khilaf. Namun, inilah pendapat yang paling kuat dari dua pendapat yang ada.” [21]
Sebagai penguat kewajiban hukumnya adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya sekalipun imam sedang khutbah.
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Seorang laki-laki masuk (ke masjid) pada saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang khutbah Jum’at. Lalu beliau bertanya, “Hai Fulan, apakah engkau sudah shalat?” Dia menjawab, “Belum.” Beliau berkata, “Berdiri dan shalatlah.”[22]
Jika memang tahiyyat boleh ditinggalkan pada suatu keadaan tersebut, maka pada saat ini dia boleh ditinggalkan. Karena orang tadi telah duduk, sedangkan shalat tersebut disyari’atkan sebelum duduk. Dan juga karena orang tadi tidak mengetahui hukumnya. Ditambah lagi karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong khutbahnya, berbicara dengannya, lalu menyuruhnya shalat tahiyyat. Sekiranya bukan karena perhatian beliau yang sangat besar terhadap tahiyyat pada semua waktu, niscaya beliau tidak akan menaruh perhatian sebesar ini.” [23]
Jika iqamat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat wajib
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةُ.
“Jika iqamat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat wajib.”[24]
Dari Malik bin Buhainah Radhiyallahu anhu, bahwa ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki sedang shalat dua raka’at pada saat iqamat telah dikumandangkan. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai, orang-orang lalu mengerumuninya. Kepada orang tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Apakah shalat Shubuh empat raka’at? Apakah shalat Shubuh empat raka’at?’ [25]
4. Keutamaan mendapati takbir bersama imam
Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى ِللهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِيْ جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيْرَةَ اْلأُوْلَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ.
“Barangsiapa shalat jama’ah ikhlas karena Allah selama empat puluh hari dengan mendapati takbir pertama, maka dibebaskan dari dua perkara: dari Neraka dan kemunafikan.” [26]
Barangsiapa datang ke masjid sedangkan imam telah shalat
Dari Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah, dia berkata, “Seorang laki-laki dari kalangan Anshar sedang dalam keadaan sakaratul maut, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku akan memberitahu kalian sebuah hadits. Aku tidak memberitahu kalian kecuali hanya mengharap pahala dari Allah. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ، لَمْ يَرْفَعْ قَدَمَهُ الْيُمْنَى إِلاَّ كَتَبَ اللهُ لَهُ حَسَنَةً، وَلَمْ يَضَعْ قَدَمَهُ الْيُسْرَى إِلاَّ حَطَّ اللهُ عَنْهُ سَيِّئَةً، فَلْيَقْتَرِبْ أَحَدُكُمْ أَوْ لِيُبَعِّدْ، فَإِنْ أَتَى الْمَسْجِدَ فَصَلَّى فِيْ جَمَاعَةٍ غُفِرَ لَهُ، فَإِنْ أَتَى الْمَسْجِدَ وَقَدْ صَلَّوْا بَعْضًا وَبَقِيَ بَعْضٌ صَلَّى مَا أَدْرَكَ وَأَتَمَّ مَا بَقِيَ، كَـانَ كَذلِكَ، فَإِنْ أَتَى الْمَسْجِدَ وَقَدْ صَلَّوْا فَأَتَمَّ الصَّلاَةَ كَانَ كَذلِكَ.
“Jika salah seorang dari kalian wudhu’ lalu menyempurnakan wudhu’nya. Setelah itu pergi keluar untuk shalat (berjama’ah), maka tidaklah ia mengangkat kaki kanannya melainkan Allah Azza wa Jalla mencatat sebuah kebaikan baginya. Dan tidaklah ia me-letakkan kaki kirinya melainkan Allah Azza wa Jalla menghapuskan sebuah kesalahan darinya. Hendaklah salah seorang di antara kalian (memilih antara) memperpendek atau memperpanjang langkahnya. Jika dia datang ke masjid kemudian shalat berjama’ah, maka diampunilah dosanya. Jika dia mendatangi masjid pada saat orang-orang telah menyelesaikan beberapa raka’at dan masih tersisa beberapa raka’at, lalu dia ikut shalat dan menyempurnakan raka’at yang tersisa, maka dia pun mendapat pahala seperti tadi. Jika dia mendatangi masjid pada saat orang-orang telah menyelesaikan shalat, lantas dia menunaikan shalatnya, maka dia pun mendapat pahala seperti tadi.” [27]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوْءَهُ ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا، أَعْطَاهُ اللهُ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلاَّهَا وَحَضَرَهَا، لاَ يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا.
“Barangsiapa wudhu’ lalu membaguskan wudhu’nya. Kemudian menuju masjid tapi dia dapati orang-orang telah selesai shalat, maka Allah Azza wa Jalla memberinya pahala orang yang melaksanakan dan menghadiri shalat jama’ah tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” [28]
5. Memasuki shalat dengan mengikuti imam dalam keadaan apa pun
Dari ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’adz bin Jabal, mereka mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الصَّلاَةَ وَاْلإِمَامُ عَلَى حَالٍ فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ اْلإِمَامُ.
“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi shalat jama’ah pada saat imam sedang berada pada suatu keadaan, maka hendaklah ia melakukan gerakan sebagaimana yang sedang dilakukan imam.”[29]
Kapankah seseorang dianggap masih mendapatkan satu raka’at?
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ وَنَحْنُ سُجُوْدٌ فَاسْجُدُوْا، وَلاَ تَعَدُّوْهَا شَيْئًا، وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ.
“Jika kalian mendatangi shalat jama’ah pada saat kami sedang sujud, maka sujudlah dan itu jangan dihitung (satu raka’at). Dan barangsiapa mendapati (imam) sedang ruku’, maka dia mendapat satu raka’at shalat.” [30]
Tentang orang yang ruku’ sebelum sampai di shaff
Dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu, ia mendapati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang ruku’, ia lantas ruku’ sebelum sampai di shaff. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberitahu akan hal tersebut. Lalu beliau bersabda, “Semoga Allah menambah semangatmu, namun janganlah engkau mengulanginya lagi.” [31]
Dari ‘Atha’ Radhiyallahu anhu, ia mendengar Ibnu az-Zubair berkhutbah di atas mimbar, “Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid pada saat orang-orang ruku’, maka hendaklah dia ruku’ hingga masuk. Setelah itu, hendaklah dia berjalan sambil tetap ruku’ sampai tiba di shaff. Karena yang seperti itu adalah Sunnah.” [32]
Dari Zaid bin Wahb rahimahullah, ia berkata, “Aku keluar bersama ‘Abdullah -maksudnya, ‘Abdullah bin Mas’ud- dari rumahnya menuju masjid. Ketika kami sampai di pertengahan masjid, imam ruku’. ‘Abdullah lalu bertakbir dan ruku’, lantas aku pun ikut ruku’ bersamanya. Setelah itu kami berjalan hingga sampai di shaff, ketika itu orang-orang tengah mengangkat kepala mereka. Pada waktu imam telah menyelesaikan shalatnya, aku bangkit. Aku mengira belum mendapat satu raka’at. ‘Abdullah langsung menarik tanganku dan mendudukkanku. Kemudian dia berkata, “Sesungguhnya engkau telah mendapat satu raka’at.” [33]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/125 no. 644)], ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (I/451 no. 651), dengan lafazh yang mirip. Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/251 no. 544), Sunan Ibni Majah (I/259 no. 791), tidak terdapat kalimat terakhir pada riwayat ini, Sunan an-Nasa-i (II/107), dengan lafazh al-Bukhari.
[2]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 320)], Shahiih Muslim (I/452 no. 653), Sunan an-Nasa-i (II/109).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 631)], Shahiih Muslim (I/453 no. 654 (257)), Sunan an-Nasa-i (II/108), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/254 no. 546), Sunan Ibni Majah (I/255 no. 777).
[4]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 645)], Sunan Ibni Majah (I/260 no. 793), Mustadrak al-Hakim (I/245), al-Baihaqi (III/174).
[5]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/131 no. 645)], Shahiih Muslim (I/450 no. 650), Sunan at-Tirmidzi (I/138 no. 215), Sunan an-Nasa-i (II/103), Sunan Ibni Majah (I/259 no. 789).
[6]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/131 no. 647)], Shahiih Muslim (I/459 no. 649), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/265 no. 555).
[7]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/148 no. 662), Shahiih Muslim (I/463 no. 669).
[8]. Fiqhus Sunnah (I/193).
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 530)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/274 no. 563), Ahmad (Fat-hur Rabbaani) (V/195 no. 1333).
[10]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 2702)], Shahiih Muslim (I/328 no. 444), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/231 no. 4157), Sunan an-Nasa-i (VIII/154).
[11]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 529)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/273 no. 561), Ahmad (Fat-hur Rabbani) (V/193 no. 1328).
[12]. Hasan: [Ahmad (Fat-hur Rabbani) (V/198 no. 1337)], Shahiih Ibni Khuzaimah (III/95 no. 1689).
[13]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/116 no. 635)], Shahiih Muslim (I/421 no. 603).
[14]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/117 no. 636)], ini adalah lafazh darinya, Shahiih Muslim (I/420 no. 602), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/278 no. 568), Sunan at-Tirmidzi (I/205 no. 326), Sunan an-Nasa-i (II/114), Sunan Ibni Majah (I/255 no. 775).
[15]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 316)], Sunan at-Tirmidzi (I/239 no. 384), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/268 no. 558).
[16]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 6419)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XIII/437 no. 5073), Sunan at-Tirmidzi (V/154 no. 3486).
[17]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 379)], Shahiih Muslim (I/530 no. 763 (191)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/230 no. 1340).
[18]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 441)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/132 no. 462).
[19]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 625)], Sunan Ibni Majah (I/253 no. 771), Sunan at-Tirmidzi (I/197 no. 313).
[20]. Telah disebutkan takhrijnya.
[21]. Nailuul Authaar (I/364).
[22]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/407 no. 930)], Shahiih Muslim (II/596/875), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/464 no. 1102), Sunan at-Tirmidzi (II/10 no. 508), Sunan Ibni Majah (I/1112 no. 353), Sunan an-Nasa-i (III/107).
[23]. [Shahiih Muslim dengan Syarh an-Nawawi (V/226)].
[24]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 263)], Shahiih Muslim (I/493 no. 710), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/143, 142 no. 1252), Sunan at-Tirmidzi (I/264 no. 419), Sunan Ibni Majah (I/364 no. 1151), Sunan an-Nasa-i (II/116).
[25]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/148 no. 663)], ini adalah lafazh darinya, Shahiih Muslim (I/493 no. 711).
[26]. Hasan: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 200)], Sunan at-Tirmidzi (I/152 no. 241).
[27]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 527)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/270 no. 559).
[28]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 528), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/272 no. 560), Sunan an-Nasa-i (II/111).
[29]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 484)], Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 261), Sunan at-Tirmidzi (II/51 no. 588).
[30]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 468)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/145/875).
[31]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 3565)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/267 no. 783), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/378 no. 67069), Sunan an-Nasa-i (II/118).
[32]. Sanadnya shahih: [Ash-Shahiihah (no. 229)].
[33]. Shahih: [Ash-Shahiihah (II/52)], al-Baihaqi (II/90).




SUJUD SAHWI

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Disebutkan dalam riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah lupa dalam shalat. Terdapat juga riwayat shahih yang menyebutkan bahwa beliau bersabda:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِيْ.
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian juga lupa. Jika aku lupa, maka ingatkanlah aku.”[1]
Beliau mensyari’atkan sujud sahwi bagi umatnya dalam beberapa hukum sebagaimana kami ringkaskan sebagai berikut:[2]
1. Jika bangkit dari raka’at kedua pada shalat wajib tanpa tasyahhud awal
Dari ‘Abdullah bin Buhainah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat wajib. Pada dua raka’at (pertama) beliau bangkit tanpa duduk (tasyahhud awal). Orang-orang lantas ikut berdiri mengikutinya. Ketika beliau telah menyelesaikan shalatnya, sedang kami menunggu beliau salam, beliau bertakbir lalu sujud dua kali dalam keadaan duduk. Setelah itu, beliau mengucapkan salam. [3]

Dari al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ، فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلاَ يَجْلِسْ وَيَسْجُدُ سَجْدَتَي السَّهْوِ.
“Jika salah seorang di antara kalian bangkit dari dua raka’at, dan belum berdiri dengan sempurna, maka hendaklah ia duduk. Namun, jika ia telah berdiri dengan sempurna, maka janganlah ia duduk. Dan hendaklah ia melakukan sujud sahwi dua kali.”[4]
2. Jika shalat lima raka’at
Dari ‘Abdullah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Zhuhur lima raka’at. Lalu ada yang berkata pada beliau, ‘Apakah terjadi penambahan dalam shalat?’ Beliau berkata, ‘Mengapa?’ Dia menjawab, ‘Engkau shalat lima raka’at.’ Beliau kemudian sujud dua kali setelah salam.” [5]

3. Jika salam pada raka’at kedua atau ketiga
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah salam pada raka’at kedua. Lalu berkatalah Dzul Yadain, “Apakah engkau mengqashar shalat atau lupa, wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah benar yang dikatakan oleh Dzul Yadain?” Orang-orang menjawab, “Benar.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bangkit dan shalat dua raka’at lagi. Setelah itu beliau salam lalu bertakbir dan sujud sebagaimana sujudnya (dalam shalat), atau lebih panjang. Kemudian beliau bangun.”[6]

Dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ‘Ashar. Kemudian beliau salam pada raka’at ketiga lalu masuk ke rumahnya. Seorang laki-laki yang dipanggil al-Khirbaq lalu mendatanginya. Dia memiliki tangan yang panjang. Lalu dia menyebutkan apa yang telah beliau lakukan. Beliau lantas keluar dengan marah sambil menyeret selendangnya hingga tiba di tempat orang-orang. Beliau bertanya, ‘Apakah benar yang dikatakan orang ini?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau shalat satu raka’at kemudian salam. Setelah itu beliau sujud dua kali lalu salam lagi.” [7]
4. Jika lupa bilangan raka’at shalat
Dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, ia mengatakan bahwa ‘Abdullah berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat.” Ibrahim berkata: ‘Beliau menambah atau mengurangi [8].’ Ketika selesai salam, ada yang berkata kepadanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah telah terjadi perubahan dalam shalat?’ Beliau bertanya, ‘Mengapa?’ Mereka menjawab, ‘Anda shalat sekian raka’at.’ Dia berkata, ‘Beliau lalu memutar kakinya dan menghadap Kiblat. Kemudian beliau sujud dua kali dan salam. Setelah itu beliau menghadap kami dan bersabda:

إِنَّهُ لَوْ حَدَثَ فِي الصَّلاَةِ شَيْءٌ أَنْبَأْتُكُمْ بِهِ وَلكِنْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِي وَإِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ، فَلْيَتِمْ عَلَيْهِ، ثُمَّ لِيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ.
“Sesungguhnya, jika terjadi sesuatu pada shalat, niscaya kalian aku beritakan. Akan tetapi aku hanyalah seorang manusia. Aku lupa sebagaimana kalian juga lupa. Jika aku lupa, maka ingatkanlah aku. Jika salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, maka hendaklah dia berusaha mencari mana yang benar. Lalu menyempurnakannya, setelah itu hendaklah dia sujud dua kali.” [9]
“Mencari yang benar,” bisa dengan cara mengingat-ingat apa yang telah ia baca dalam shalat. Bisa jadi dia ingat telah membaca dua surat dalam dua raka’at. Akhirnya dia mengetahui bahwa dia telah shalat dua raka’at, bukan satu raka’at. Terkadang dia teringat telah melakukan tasyahhud awal. Sehingga dia mengetahui bahwa dia telah shalat dua raka’at, tidak satu raka’at. Dan dia telah shalat tiga raka’at, bukan dua raka’at. terkadang, dia ingat telah mem-baca al-Faatihah saja pada satu raka’at dan juga raka’at berikutnya. Akhirnya dia sadar bahwa dia telah shalat empat raka’at, tidak tiga raka’at. Dan begitulah seterusnya. Jika dia mencari yang benar dengan cara mengambil yang lebih dekat pada yang benar, maka hilanglah keraguan tadi. Dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara menjadi imam ataupun shalat sendiri. [10]
Jika dia telah berusaha mencari yang benar, namun dia belum bisa menentukan suatu kecenderungan, maka dia harus menguatkan perkara yang yakin, yaitu yang paling sedikit. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِـيْ صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى؟ ثَلاَثًا أَوْ أَرْبَعًـا؟ فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَـا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ. فَإِنْ كَـانَ صَلَّى خَمْسًا شَفِعْنَ لَهُ صَلاَتُهُ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا ِلأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ.
“Jika salah seorang di antara kalian ragu dalam shalatnya. Sehingga dia tidak tahu berapa raka’at yang telah dia kerjakan. Tiga raka’at ataukah empat raka’at. Maka hendaklah ia tepis keraguan itu, dan ikutilah yang dia yakini. Setelah itu, hendaklah dia sujud dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia mengerjakan lima raka’at, maka dia telah menggenapkan shalatnya. Namun, jika dia mengerjakan empat raka’at, maka dua sujud tadi adalah penghinaan bagi syaitan.” [11]
A. Hukum Sujud Sahwi
Hukum sujud sahwi adalah wajib. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits tadi. Dan juga karena beliau senantiasa melakukannya ketika lupa. Beliau tidak pernah meninggalkannya sama sekali.

B. Letak Sujud Sahwi
Pendapat yang paling baik adalah pembedaan antara menambah dan mengurangi, antara ragu dan berusaha mencari yang benar, juga antara ragu dan mengikuti yang diyakini. Semua nash-nash ini bisa diterapkan. Dan pembedaan ini sangat masuk akal.

Jika ada yang kurang dalam shalat, seperti meninggalkan tasyahhud awal, maka shalat memerlukan penambahan. Agar shalat menjadi sempurna, maka penambahannya dilakukan sebelum salam. Karena salam adalah penutup shalat.
Jika terjadi penambahan, seperti kelebihan satu raka’at -tidak pernah terkumpul dua tambahan dalam satu shalat-, maka sujud dilakukan setelah salam. Karena ia merupakan penghinaan bagi syaitan. Ia memiliki kedudukan sebagai satu shalat yang terpisah, yang dengannya shalat yang kurang menjadi sempurna. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan dua sujud seperti halnya satu raka’at.
Begitupula jika dia ragu dan berusaha mencari yang benar, maka dia harus menyempurnakan shalatnya, dan kedua sujud tadi sebagai penghinaan bagi syaitan. Maka, kedua sujud tadi dilakukan setelah salam. Demikian pula ketika dia selesai salam, sedangkan sebagian shalatnya belum dikerjakan kemudian dia menyempurnakannya, maka dia telah menyempurnakan shalatnya tadi sedangkan salam pada shalat tersebut merupakan tambahan. Sujud dalam kondisi semacam ini dikerjakan setelah salam. Karena ia merupakan penghinaan bagi syaitan.
Adapun jika dia ragu dan tidak bisa menentukan mana yang benar, maka dalam kondisi semacam ini bisa jadi dia shalat empat raka’at atau lima raka’at. Jika dia shalat lima raka’at, maka kedua sujud tadi telah menggenapkan shalatnya. Dengan begitu dia seolah-olah shalat enam raka’at, bukan lima. Sujud ini dilakukan sebelum salam.
Pendapat yang kita kuatkan ini merupakan penerapan dari semua hadits-hadits tadi. Tidak ada satu hadits pun yang ditinggalkan. Sekalipun dengan menggunakan kias yang benar dalam masalah yang tidak terdapat nashnya. Juga dengan mengaitkan yang bukan nash dengan nash yang mirip dengannya.[12]
C. Sujud Sahwi Karena Meninggalkan Salah Satu Sunnah
Barangsiapa meninggalkan salah satu sunnah karena lupa, maka dia harus sujud sahwi.

Dasarnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لِكُلِّ سَهْوٍ سَجْدَتَانِ.
“Jika terjadi kelupaan dalam shalat, maka harus sujud dua kali.” [13]
Hukum sujud dalam kondisi ini adalah sunnah, bukan wajib. Agar far’i (cabang) tidak bertambah dari hukum asalnya.[14]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 2339)], Irwaa’ul Ghaliil (no. 339).
[2]. Fiqhus Sunnah (I/190).
[3]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/92 no. 1224)], Shahiih Muslim (I/399 no. 570), Sunan an-Nasa-i (III/19), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/347 no. 1021), Sunan at-Tirmidzi (I/242 no. 389), Sunan Ibni Majah (I/381 no. 1206).
[4]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (II/109-110)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/350 no. 1023), Sunan Ibni Majah (I/381 no. 1208). Yang harus diperha-tikan adalah, dalam hadits tidak dibedakam antara bangkit yang lebih dekat ke berdiri sehingga dia harus berdiri atau lebih dekat ke duduk sehingga ia harus duduk. Yang benar adalah sebagaimana dijelaskan dalam hadits bahwa jika ia teringat sebelum berdiri dengan sempurna, maka dia harus duduk, sekalipun dia telah hampir berdiri secara sempurna.
[5]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/93 no. 1226)], Shahiih Muslim (I/401 no. 572 (91)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/325 no. 1006), Sunan at-Tirmidzi (I/243 no. 390), Sunan Ibni Majah (I/380 no. 1205), Sunan an-Nasa-i (III/31).
[6]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/98 no. 1228)], Shahiih Muslim (I/403 no. 573), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/311 no. 995), Sunan at-Tirmidzi (I/247 no. 397), Sunan an-Nasa-i (III/30), Sunan Ibni Majah (I/383 no. 1214).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1001)], Shahiih Muslim (I/404 no. 574), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/323 no. 1005), Sunan an-Nasa-i (III/ 26), Sunan Ibni Majah (I/384 no. 1215).
[8]. Ibrahim tadi ragu. Yang benar adalah beliau menambah. Sebagaimana di-sebutkan oleh Ibnul Atsir dalam kitab Jaami’ul Ushuul (V/541).
[9]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/503 no. 401)], Shahiih Muslim (I/400 no. 572), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/326 no. 1007), Sunan an-Nasa-i (III/31), Sunan Ibni Majah (I/382 no. 1211).
[10]. Majmuu’ al-Fataawaa karya Ibnu Taimiyyah (XXIII/13).
[11]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 632)], Shahiih Muslim (I/400 no. 571), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/330 no. 1011), Sunan an-Nasa-i (III/27).
[12]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/24).
[13]. Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 917)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/357 no. 1025), Sunan Ibni Majah (I/385 no. 1219).
[14]. As-Sailuul Jarraar (I/275).


SUJUD TILAWAH

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam al-Muhalla (V/106, V/105), “Dalam al-Qur-an terdapat empat belas ayat sajdah. Yang pertama pada akhir surat al-A’raf, kemudian ar-Ra’d, an-Nahl, Subhaana, kaf ha ya ‘ain shad, awal al-Hajj, pada akhir-akhir surat ini tidak terdapat ayat Sajdah, al-Furqaan, an-Naml, alif lam mim tanzil, shad, ha mim fushshilat, akhir wan najm, idzassamaa-un syaqqat pada ayat: ‘لاَ يَسْجُدُوْنَ’ kemudian di akhir surat iqra’ bismirabbikalladzi khalaq.”
A. Hukum Sujud Tilawah
Ibnu Hazm melanjutkan, “Sujud ini tidaklah wajib, namun ia adalah keutamaan (sunnah). Sujud ini dilakukan saat shalat wajib dan sunnah. Juga pada selain shalat di setiap waktu, ketika matahari terbit, tenggelam, maupun saat pertengahan. Baik menghadap ke kiblat maupun tidak. Baik dalam keadaan suci ataupun tidak.”

Saya katakan, “Sujud ini dikatakan sebagai keutamaan, bukan kewajiban karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca ‘Wan Najm’ lalu sujud. [1]
Zaid bin Tsabit pernah membacanya di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi beliau tidak sujud [2] untuk menunjukkan kebolehannya. Sebagaimana disebutkan al-Hafizh dalam Fat-hul Baari (II/555), Ibnu Hazm berkata (V/111), “Sujud ini boleh dilakukan tanpa bersuci dan tanpa menghadap ke kiblat karena ia bukanlah shalat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلاَةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى.
“Shalat malam maupun siang dikerjakan dua raka’at dua raka’at.” [3]
Apa yang kurang dari dua raka’at, maka bukanlah shalat. Kecuali ada nash yang menyatakan bahwa ia adalah shalat. Seperti satu raka’at pada shalat Khauf, Witir, dan shalat Jenazah. Tidak ada nash yang menyatakan bahwa sujud tilawah adalah shalat.”
B. Keutamaannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ، اِعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي يَقُوْلُ: يَاوَيْلَهُ، أُمِرَ بِالسُّجُوْدِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ، وَأُمِرْتُ بِالسُّجُوْدِ فَعَصَيْتُ فَلِيَ النَّارُ.
“Jika anak Adam membaca ayat Sajdah kemudian bersujud, maka syaitan menjauh darinya sambil menangis dan berkata, ‘Alangkah celakanya. Dia diperintah sujud kemudian bersujud, lalu ia mendapat Surga. Sedangkan aku diperintah sujud namun membangkang, lalu aku mendapat Neraka.’” [4]
C. Bacaan yang Diucapkan Ketika Sujud
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, Pada suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (do’a) di saat sujud Qur-an, beliau membacanya berulang-ulang ketika sujud sajdah:

سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِي خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ.
“Wajahku bersujud pada Dzat Yang menciptakannya, serta membuka pendengaran dan penglihatannya dengan daya serta kekuatan-Nya.”[5]
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud, beliau mengucapkan:
“اَللّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، أَنْتَ رَبِّي، سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِي شَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ.”
“Ya Allah, aku bersujud kepada-Mu, beriman kepada-Mu, dan berserah diri kepada-Mu. Engkaulah Tuhanku. Wajahku bersujud pada Dzat Yang membuka pendengaran dan penglihatannya. Mahasuci Allah, sebaik-baik Pencipta.” [6]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah seorang laki-laki. Lantas dia berkata, ‘Semalam aku bermimpi. Seakan-akan aku shalat menghadap ke pangkal pohon. Aku membaca ayat sajdah lalu bersujud. Kemudian pohon itu bersujud karena sujudku. Aku mendengar pohon tadi mengucapkan:
“اَللّهُمَّ احْطِطْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا، وَاكْتُبْ لِي بِهَا أَجْرًا، وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا.”
“Ya Allah, hapuslah dosaku dengannya. Catatlah ia sebagai pahalaku. Dan jadikanlah ia simpananku di sisi-Mu.”
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat Sajdah lalu bersujud. Dalam sujudnya beliau membaca do’a yang diceritakan laki-laki tadi tentang ucapan pohon tersebut.” [7]
Sujud Syukur
Disunnahkan bagi orang yang memperoleh nikmat, terhindar dari bencana, atau menerima kabar gembira, agar bersujud. Sebagai wujud peneladanan kita terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu : “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat sesuatu yang menggembirakan atau merasa bahagia, beliau menyungkur sujud sebagai rasa syukur kepada Allah Tabaaraka wa Ta’aala.” [8]
Hukumnya sama dengan hukum sujud tilawah.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/553 no. 1070)], Shahiih Muslim (I/405 no. 576), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/828 no. 1393), Sunan an-Nasa-i (II/160).
[2]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/554 no. 1073)], Shahiih Muslim (I/406 no. 577), Sunan an-Nasa-i (II/160), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/280 no. 1391), Sunan at-Tirmidzi (II/44/573).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1151)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/173 no. 1281), Sunan at-Tirmidzi (II/54 no. 594), Sunan Ibni Majah (I/419 no. 1322), Sunan an-Nasa-i (III/227).
[4]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 369)], Shahiih Muslim (I/87 no. 81).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1255)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/289 no. 1401), Sunan at-Tirmidzi (V/47 no. 577), Sunan an-Nasa-i (II/222).
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 866)], Shahiih Muslim (I/534 no. 771), Sunan Ibni Majah (I/335 no. 1054), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/ 463 no. 746), Sunan at-Tirmidzi (V/149 no. 3481).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 865)], Sunan at-Tirmidzi (II/46 no. 576), Sunan Ibni Majah (I/334 no. 1053).
[8]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1143)], Sunan Ibni Majah (I/446 no. 1394), ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VII/462 no. 2757), Sunan at-Tirmidzi (III/69 no. 1626).


SHALAT GERHANA, SHALAT ISTISQA'

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Jika terjadi gerhana bulan atau matahari disunnahkan mengumandangkan:
اَلصَّلاَةُ جَامِعَةٌ.
“Mari shalat berjama’ah.”
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, dia mengatakan, “Ketika terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diserukanlah:
إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ
“Sesungguhnya shalat dilakukan secara berjama’ah.” [1]
Jika orang-orang telah berkumpul di masjid, maka imam shalat dua raka’at bersama mereka sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Lalu beliau pergi ke masjid dan orang-orang pun berbaris di belakang beliau, kemudian beliau bertakbir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dengan bacaan yang panjang. Lantas bertakbir dan melakukan ruku’ dengan panjang. Kemudian beliau mengucap: ” سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ .” Lalu bangkit dan tidak melakukan sujud. Setelah itu beliau membaca bacaan yang panjang, namun tidak sepanjang bacaan pertama. Kemudian bertakbir lalu melakukan ruku’ dengan ruku’ yang panjang namun tidak sepanjang ruku’ pertama. Setelah itu beliau mengucap: “سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ Kemudian beliau sujud.
Pada raka’at kedua, beliau melakukan seperti pada raka’at pertama. Hingga beliau juga melakukan empat ruku’ dalam empat sujud dan matahari pun telah tampak kembali sebelum beliau selesai.” [2]
Khutbah Setelah Shalat
Jika imam selesai salam, disunnahkan baginya berkhutbah di hadapan orang-orang. Menasihati mereka, mengingatkan, dan mendorong mereka untuk berbuat amal shalih.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada hari di mana terjadi gerhana matahari… kemudian dia menyebutkan tata cara shalat tersebut. Lalu melanjutkan, “Kemudian beliau salam, sedangkan matahari telah tampak kembali. Beliau lantas berkhutbah di hadapan orang-orang. Beliau mengatakan bahwa gerhana matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Tidaklah gerhana itu terjadi karena mati atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihatnya, maka bergegaslah untuk shalat.” [3]
Dari Asma’ Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh membebaskan budak pada saat terjadi gerhana matahari.”[4]
Dari Abu Musa, dia berkata, “Ketika terjadi gerhana matahari. Tiba-tiba Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dengan terkejut. Beliau khawatir jika hari itu terjadi Kiamat. Beliau mendatangi masjid kemudian mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’, dan sujud yang terpanjang yang pernah aku lihat. Beliau lantas berkhutbah, “Ini adalah salah satu tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan oleh-Nya. Bukan lantaran mati atau lahirnya seseorang. Namun, dengan peristiwa itu Allah ingin menakuti para hamba-Nya. Jika kalian melihat hal itu terjadi, maka bersegeralah untuk mengingat Allah, berdo’a, dan beristighfar kepada-Nya.” [5]
Pengertian secara lahiriyah dari sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Maka bersegeralah… dan seterusnya,” menunjukkan wajibnya perbuatan tersebut. Jadi, hukum shalat gerhana adalah fardhu kifayah. Sebagaimana dikatakan Abu ‘Awanah dalam kitab Shahiihnya (II/398), “Penjelasan tentang wajibnya shalat gerhana” Kemudian di menyebutkan beberapa hadits shahih tentang masalah tersebut. Hal itu juga tampak dilakukan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahiihnya. Dia berkata (II/38), “Bab perintah shalat ketika terjadi gerhana matahari dan bulan…” Lalu dia menyebutkan sejumlah hadits berkenaan dengan masalah tersebut.
Al-Hafizh berkata dalam Fat-hul Baari (II/527), “Pendapat Jumhur menyatakan bahwa ia adalah sunnah mu-akkadah. Abu ‘Awanah menyatakannya dalam kitab Shahiihnya sebagai perbuatan yang wajib. Dan saya tidak menjumpai pendapat seperti itu pada ulama selainnya. Hanya saja, apa yang diriwayatkan dari Malik bahwa beliau memperlakukannya sebagaimana shalat Jum’at. Dan az-Zain bin al-Munir menukil dari Abu Hanifah bahwa dia mewajibkannya. Begitupula beberapa pengarang kitab madzhab Hanafiyyah. Mereka menyatakannya sebagai hal yang wajib.” [6]
SHALAT ISTISQA
Jika hujan tidak turun, dan suatu daerah tertimpa kekeringan, maka disunnahkan keluar menuju tanah lapang untuk shalat Istisqa’ (memohon hujan). Kemudian seorang imam melakukan shalat dua raka’at bersama masyarakat. Setelah itu dia memperbanyak do’a dan istighfar sambil merubah letak syal (selendang)nya dan menjadikan bagian kanannya di atas bagian kirinya.

Dari ‘Abbad bin Tamim Radhiyallahu anhu, dari pamannya, ‘Abdullah Zaid, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju tanah lapang untuk shalat Istisqa’. Beliau menghadap ke kiblat lalu shalat dua raka’at dan membalik syalnya. Sufyan berkata, ‘Aku diberitahu al-Mas’udi dari Abu Bakr, dia berkata, ‘Beliau menjadikan bagian kanan dari syal tersebut di atas bagian kiri.’”[7]
Dan darinya, dia berkata, “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika keluar untuk shalat Istisqa’. Dia berkata, ‘Beliau lalu menghadapkan punggungnya ke arah para penduduk dan menghadap ke kiblat sambil berdo’a. Kemudian beliau merubah letak syalnya lantas shalat dua raka’at bersama kami. Beliau mengeraskan bacaannya pada kedua raka’at tersebut.” [8]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/533 no. 1045), Shahiih Muslim (II/627 no. 910), Sunan an-Nasa-i (III/136).
[2]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/533 no. 1046)], Shahiih Muslim (II/619 no. 901 (3)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/46 no. 1168), Sunan an-Nasa-i (III/130).
[3]. Ibid.
[4]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 118)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/543 no. 1045).
[5]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/545 no. 1059)], Shahiih Muslim (II/628 no. 912), Sunan an-Nasa-i (III/153).
[6]. Tamaamul Minnah (hal. 261), dengan sedikit pengubahan.
[7]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/515 no. 1027)], ini adalah lafazh darinya, Shahiih Muslim (II/611 no. 894 (2)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/24 no. 1149), Sunan at-Tirmidzi (I/34 no. 553), Sunan an-Nasa-i (II/155) dengan lafazh hampir serupa.
[8]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1029)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/514 no. 1025), ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (II/611 no. 894 (4)), dalam riwayatnya tidak terdapat kata: “mengeraskan.” Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/26 no. 1150).


SHALAT DHUHA (SHALAT AL AWWABIN) SHALAT SETELAH BERSUCI (SHALAT SUNNAH WUDHU), SHALAT ISTIQARAH

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

A. Pensyari’atannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan tiga perkara kepadaku: puasa tiga hari pada tiap bulan (tanggal 13, 14, 15 pada bulan Hijriyyah), dua raka’at shalat Dhuha, dan shalat witir sebelum tidur.” [1]

B. Keutamaannya
Dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً، فَكُلُّ تَسْبِيْحَةٍ صَـدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٍ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِى مِنْ ذلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهَا مِنَ الضُّحَى.
“Pada masing-masing ruas jari kalian terdapat hak shadaqah. Setiap tasbih adalah shadaqah. Setiap tahmid adalah shadaqah. Setiap tahlil adalah shadaqah. Setiap takbir adalah shadaqah. Memerintah kebaikan adalah shadaqah. Mencegah kemunkaran adalah shadaqah. Semua itu tercukupi dengan mengerjakan shalat Dhuha dua raka’at.” [2]
C. Bilangan Raka’atnya
Paling sedikit dua raka’at. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits tadi. Dan paling banyak delapan raka’at.

Dari Ummu Hani’ Radhiyallahu anhuma, bahwa pada hari Fat-hu Makkah (penaklukan kota Makkah), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi di rumahnya lalu shalat delapan raka’at.” [3]
D. Waktunya Yang Paling Utama
Dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui penduduk Quba’ yang sedang shalat Dhuha. Lalu beliau bersabda:

صَلاَةُ اْلأَوَّبِيْنَ إِذَا رَمَضَتِ الْفِصَالُ مِنَ الضُّحَى.
“Waktu shalat al-awwaabiin (Dhuha) adalah ketika anak unta merasa kepanasan di pagi hari.” [4]
SHALAT SETELAH BERSUCI (SHALAT SUNNAH WUDHU)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal ketika hendak shalat Shubuh, ‘Wahai Bilal, beritahulah aku amalan yang paling engkau harapkan (pahalanya) yang engkau kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnya aku mendengar suara kedua sandalmu di hadapanku di Surga.’ Dia menjawab, ‘Tidaklah aku melakukan amalan yang paling kuharapkan (pahalanya). Hanya saja aku tidak bersuci, baik saat petang maupun siang, melainkan aku shalat sunnah dengannya apa-apa yang telah ditetapkan bagiku untuk shalat.’” [5]

SHALAT ISTIKHARAH
Disunnahkan bagi yang sedang menghadapi suatu masalah agar beristikharah (meminta petunjuk) kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan kepada kami beristikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami surat dalam al-Qur-an: ‘Jika salah seorang di antara kalian menghadapi perkara, maka shalatlah dua raka’at, selain shalat wajib. Kemudian ucapkanlah:
“اَللّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هذَا اْلأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِيْنِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ: فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِي. وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِيْنِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ: فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِى بِهِ.”
“Ya Allah, sesungguhnya aku minta petunjuk-Mu melalui ilmu-Mu. Aku memohon kekuatan dari-Mu melalui kekuatan-Mu. Aku memohon karunia-Mu yang agung. Karena Engkau-lah Yang Mahakuasa sedangkan aku tidak berdaya. Engkaulah Yang Mahatahu sedangkan aku tidak mengetahui. Engkaulah Yang Maha Mengetahui alam ghaib. Ya Allah, jika menurut-Mu perkara ini baik bagi agamaku, dunia, dan akhir kesudahanku -atau mengatakan: ‘Bagi dunia dan akhiratku.’- , maka takdirkanlah ia bagiku. Namun, jika menurut-Mu perkara ini buruk bagi agamaku, dunia, dan akhir kesudahanku -atau mengatakan: ‘Dunia dan akhiratku,’- maka jauhkanlah ia dariku dan jauhkanlah aku darinya. Takdirkanlah kebaikan bagiku, apa pun ia, kemudian jadikanlah aku ridha terhadapnya.”
Setelah itu, hendaknya ia menyebutkan keinginannya.[6]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 367)], Shahiih Muslim (I/499 no. 721), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/310 no. 1419).
[2]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 364)], Shahiih Muslim (I/499 no. 720), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/164 no. 1271).
[3]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/51 no. 1176)], Shahiih Muslim (I/226 no. 336 (71)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/170 no. 1277), Sunan at-Tirmidzi (I/295 no. 472), Sunan an-Nasa-i (I/126).
[4]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 368) secara ringkas], Shahiih Muslim (I/516 no. 748 (144)).
[5]. Telah disebutkan takhrijnya.
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1136)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/183 no. 6382), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/396 no. 1524), Sunan at-Tirmidzi (I/298 no. 478), Sunan Ibni Majah (I/440 no. 1383), Sunan an-Nasa-i (VI/80).