Home » » SHALAT DHUHA (SHALAT AL AWWABIN) SHALAT SETELAH BERSUCI (SHALAT SUNNAH WUDHU), SHALAT ISTIQARAH

SHALAT DHUHA (SHALAT AL AWWABIN) SHALAT SETELAH BERSUCI (SHALAT SUNNAH WUDHU), SHALAT ISTIQARAH

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

A. Pensyari’atannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan tiga perkara kepadaku: puasa tiga hari pada tiap bulan (tanggal 13, 14, 15 pada bulan Hijriyyah), dua raka’at shalat Dhuha, dan shalat witir sebelum tidur.” [1]

B. Keutamaannya
Dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً، فَكُلُّ تَسْبِيْحَةٍ صَـدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٍ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِى مِنْ ذلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهَا مِنَ الضُّحَى.
“Pada masing-masing ruas jari kalian terdapat hak shadaqah. Setiap tasbih adalah shadaqah. Setiap tahmid adalah shadaqah. Setiap tahlil adalah shadaqah. Setiap takbir adalah shadaqah. Memerintah kebaikan adalah shadaqah. Mencegah kemunkaran adalah shadaqah. Semua itu tercukupi dengan mengerjakan shalat Dhuha dua raka’at.” [2]
C. Bilangan Raka’atnya
Paling sedikit dua raka’at. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits tadi. Dan paling banyak delapan raka’at.

Dari Ummu Hani’ Radhiyallahu anhuma, bahwa pada hari Fat-hu Makkah (penaklukan kota Makkah), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi di rumahnya lalu shalat delapan raka’at.” [3]
D. Waktunya Yang Paling Utama
Dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui penduduk Quba’ yang sedang shalat Dhuha. Lalu beliau bersabda:

صَلاَةُ اْلأَوَّبِيْنَ إِذَا رَمَضَتِ الْفِصَالُ مِنَ الضُّحَى.
“Waktu shalat al-awwaabiin (Dhuha) adalah ketika anak unta merasa kepanasan di pagi hari.” [4]
SHALAT SETELAH BERSUCI (SHALAT SUNNAH WUDHU)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal ketika hendak shalat Shubuh, ‘Wahai Bilal, beritahulah aku amalan yang paling engkau harapkan (pahalanya) yang engkau kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnya aku mendengar suara kedua sandalmu di hadapanku di Surga.’ Dia menjawab, ‘Tidaklah aku melakukan amalan yang paling kuharapkan (pahalanya). Hanya saja aku tidak bersuci, baik saat petang maupun siang, melainkan aku shalat sunnah dengannya apa-apa yang telah ditetapkan bagiku untuk shalat.’” [5]

SHALAT ISTIKHARAH
Disunnahkan bagi yang sedang menghadapi suatu masalah agar beristikharah (meminta petunjuk) kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan kepada kami beristikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami surat dalam al-Qur-an: ‘Jika salah seorang di antara kalian menghadapi perkara, maka shalatlah dua raka’at, selain shalat wajib. Kemudian ucapkanlah:
“اَللّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هذَا اْلأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِيْنِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ: فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِي. وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِيْنِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ: فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِى بِهِ.”
“Ya Allah, sesungguhnya aku minta petunjuk-Mu melalui ilmu-Mu. Aku memohon kekuatan dari-Mu melalui kekuatan-Mu. Aku memohon karunia-Mu yang agung. Karena Engkau-lah Yang Mahakuasa sedangkan aku tidak berdaya. Engkaulah Yang Mahatahu sedangkan aku tidak mengetahui. Engkaulah Yang Maha Mengetahui alam ghaib. Ya Allah, jika menurut-Mu perkara ini baik bagi agamaku, dunia, dan akhir kesudahanku -atau mengatakan: ‘Bagi dunia dan akhiratku.’- , maka takdirkanlah ia bagiku. Namun, jika menurut-Mu perkara ini buruk bagi agamaku, dunia, dan akhir kesudahanku -atau mengatakan: ‘Dunia dan akhiratku,’- maka jauhkanlah ia dariku dan jauhkanlah aku darinya. Takdirkanlah kebaikan bagiku, apa pun ia, kemudian jadikanlah aku ridha terhadapnya.”
Setelah itu, hendaknya ia menyebutkan keinginannya.[6]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 367)], Shahiih Muslim (I/499 no. 721), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/310 no. 1419).
[2]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 364)], Shahiih Muslim (I/499 no. 720), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/164 no. 1271).
[3]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/51 no. 1176)], Shahiih Muslim (I/226 no. 336 (71)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/170 no. 1277), Sunan at-Tirmidzi (I/295 no. 472), Sunan an-Nasa-i (I/126).
[4]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 368) secara ringkas], Shahiih Muslim (I/516 no. 748 (144)).
[5]. Telah disebutkan takhrijnya.
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1136)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/183 no. 6382), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/396 no. 1524), Sunan at-Tirmidzi (I/298 no. 478), Sunan Ibni Majah (I/440 no. 1383), Sunan an-Nasa-i (VI/80).





0 komentar:

Posting Komentar