Home » » SUJUD SAHWI

SUJUD SAHWI

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Disebutkan dalam riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah lupa dalam shalat. Terdapat juga riwayat shahih yang menyebutkan bahwa beliau bersabda:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِيْ.
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian juga lupa. Jika aku lupa, maka ingatkanlah aku.”[1]
Beliau mensyari’atkan sujud sahwi bagi umatnya dalam beberapa hukum sebagaimana kami ringkaskan sebagai berikut:[2]
1. Jika bangkit dari raka’at kedua pada shalat wajib tanpa tasyahhud awal
Dari ‘Abdullah bin Buhainah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat wajib. Pada dua raka’at (pertama) beliau bangkit tanpa duduk (tasyahhud awal). Orang-orang lantas ikut berdiri mengikutinya. Ketika beliau telah menyelesaikan shalatnya, sedang kami menunggu beliau salam, beliau bertakbir lalu sujud dua kali dalam keadaan duduk. Setelah itu, beliau mengucapkan salam. [3]

Dari al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ، فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلاَ يَجْلِسْ وَيَسْجُدُ سَجْدَتَي السَّهْوِ.
“Jika salah seorang di antara kalian bangkit dari dua raka’at, dan belum berdiri dengan sempurna, maka hendaklah ia duduk. Namun, jika ia telah berdiri dengan sempurna, maka janganlah ia duduk. Dan hendaklah ia melakukan sujud sahwi dua kali.”[4]
2. Jika shalat lima raka’at
Dari ‘Abdullah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Zhuhur lima raka’at. Lalu ada yang berkata pada beliau, ‘Apakah terjadi penambahan dalam shalat?’ Beliau berkata, ‘Mengapa?’ Dia menjawab, ‘Engkau shalat lima raka’at.’ Beliau kemudian sujud dua kali setelah salam.” [5]

3. Jika salam pada raka’at kedua atau ketiga
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah salam pada raka’at kedua. Lalu berkatalah Dzul Yadain, “Apakah engkau mengqashar shalat atau lupa, wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah benar yang dikatakan oleh Dzul Yadain?” Orang-orang menjawab, “Benar.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bangkit dan shalat dua raka’at lagi. Setelah itu beliau salam lalu bertakbir dan sujud sebagaimana sujudnya (dalam shalat), atau lebih panjang. Kemudian beliau bangun.”[6]

Dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ‘Ashar. Kemudian beliau salam pada raka’at ketiga lalu masuk ke rumahnya. Seorang laki-laki yang dipanggil al-Khirbaq lalu mendatanginya. Dia memiliki tangan yang panjang. Lalu dia menyebutkan apa yang telah beliau lakukan. Beliau lantas keluar dengan marah sambil menyeret selendangnya hingga tiba di tempat orang-orang. Beliau bertanya, ‘Apakah benar yang dikatakan orang ini?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau shalat satu raka’at kemudian salam. Setelah itu beliau sujud dua kali lalu salam lagi.” [7]
4. Jika lupa bilangan raka’at shalat
Dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, ia mengatakan bahwa ‘Abdullah berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat.” Ibrahim berkata: ‘Beliau menambah atau mengurangi [8].’ Ketika selesai salam, ada yang berkata kepadanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah telah terjadi perubahan dalam shalat?’ Beliau bertanya, ‘Mengapa?’ Mereka menjawab, ‘Anda shalat sekian raka’at.’ Dia berkata, ‘Beliau lalu memutar kakinya dan menghadap Kiblat. Kemudian beliau sujud dua kali dan salam. Setelah itu beliau menghadap kami dan bersabda:

إِنَّهُ لَوْ حَدَثَ فِي الصَّلاَةِ شَيْءٌ أَنْبَأْتُكُمْ بِهِ وَلكِنْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِي وَإِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ، فَلْيَتِمْ عَلَيْهِ، ثُمَّ لِيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ.
“Sesungguhnya, jika terjadi sesuatu pada shalat, niscaya kalian aku beritakan. Akan tetapi aku hanyalah seorang manusia. Aku lupa sebagaimana kalian juga lupa. Jika aku lupa, maka ingatkanlah aku. Jika salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, maka hendaklah dia berusaha mencari mana yang benar. Lalu menyempurnakannya, setelah itu hendaklah dia sujud dua kali.” [9]
“Mencari yang benar,” bisa dengan cara mengingat-ingat apa yang telah ia baca dalam shalat. Bisa jadi dia ingat telah membaca dua surat dalam dua raka’at. Akhirnya dia mengetahui bahwa dia telah shalat dua raka’at, bukan satu raka’at. Terkadang dia teringat telah melakukan tasyahhud awal. Sehingga dia mengetahui bahwa dia telah shalat dua raka’at, tidak satu raka’at. Dan dia telah shalat tiga raka’at, bukan dua raka’at. terkadang, dia ingat telah mem-baca al-Faatihah saja pada satu raka’at dan juga raka’at berikutnya. Akhirnya dia sadar bahwa dia telah shalat empat raka’at, tidak tiga raka’at. Dan begitulah seterusnya. Jika dia mencari yang benar dengan cara mengambil yang lebih dekat pada yang benar, maka hilanglah keraguan tadi. Dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara menjadi imam ataupun shalat sendiri. [10]
Jika dia telah berusaha mencari yang benar, namun dia belum bisa menentukan suatu kecenderungan, maka dia harus menguatkan perkara yang yakin, yaitu yang paling sedikit. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِـيْ صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى؟ ثَلاَثًا أَوْ أَرْبَعًـا؟ فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَـا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ. فَإِنْ كَـانَ صَلَّى خَمْسًا شَفِعْنَ لَهُ صَلاَتُهُ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا ِلأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ.
“Jika salah seorang di antara kalian ragu dalam shalatnya. Sehingga dia tidak tahu berapa raka’at yang telah dia kerjakan. Tiga raka’at ataukah empat raka’at. Maka hendaklah ia tepis keraguan itu, dan ikutilah yang dia yakini. Setelah itu, hendaklah dia sujud dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia mengerjakan lima raka’at, maka dia telah menggenapkan shalatnya. Namun, jika dia mengerjakan empat raka’at, maka dua sujud tadi adalah penghinaan bagi syaitan.” [11]
A. Hukum Sujud Sahwi
Hukum sujud sahwi adalah wajib. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits tadi. Dan juga karena beliau senantiasa melakukannya ketika lupa. Beliau tidak pernah meninggalkannya sama sekali.

B. Letak Sujud Sahwi
Pendapat yang paling baik adalah pembedaan antara menambah dan mengurangi, antara ragu dan berusaha mencari yang benar, juga antara ragu dan mengikuti yang diyakini. Semua nash-nash ini bisa diterapkan. Dan pembedaan ini sangat masuk akal.

Jika ada yang kurang dalam shalat, seperti meninggalkan tasyahhud awal, maka shalat memerlukan penambahan. Agar shalat menjadi sempurna, maka penambahannya dilakukan sebelum salam. Karena salam adalah penutup shalat.
Jika terjadi penambahan, seperti kelebihan satu raka’at -tidak pernah terkumpul dua tambahan dalam satu shalat-, maka sujud dilakukan setelah salam. Karena ia merupakan penghinaan bagi syaitan. Ia memiliki kedudukan sebagai satu shalat yang terpisah, yang dengannya shalat yang kurang menjadi sempurna. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan dua sujud seperti halnya satu raka’at.
Begitupula jika dia ragu dan berusaha mencari yang benar, maka dia harus menyempurnakan shalatnya, dan kedua sujud tadi sebagai penghinaan bagi syaitan. Maka, kedua sujud tadi dilakukan setelah salam. Demikian pula ketika dia selesai salam, sedangkan sebagian shalatnya belum dikerjakan kemudian dia menyempurnakannya, maka dia telah menyempurnakan shalatnya tadi sedangkan salam pada shalat tersebut merupakan tambahan. Sujud dalam kondisi semacam ini dikerjakan setelah salam. Karena ia merupakan penghinaan bagi syaitan.
Adapun jika dia ragu dan tidak bisa menentukan mana yang benar, maka dalam kondisi semacam ini bisa jadi dia shalat empat raka’at atau lima raka’at. Jika dia shalat lima raka’at, maka kedua sujud tadi telah menggenapkan shalatnya. Dengan begitu dia seolah-olah shalat enam raka’at, bukan lima. Sujud ini dilakukan sebelum salam.
Pendapat yang kita kuatkan ini merupakan penerapan dari semua hadits-hadits tadi. Tidak ada satu hadits pun yang ditinggalkan. Sekalipun dengan menggunakan kias yang benar dalam masalah yang tidak terdapat nashnya. Juga dengan mengaitkan yang bukan nash dengan nash yang mirip dengannya.[12]
C. Sujud Sahwi Karena Meninggalkan Salah Satu Sunnah
Barangsiapa meninggalkan salah satu sunnah karena lupa, maka dia harus sujud sahwi.

Dasarnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لِكُلِّ سَهْوٍ سَجْدَتَانِ.
“Jika terjadi kelupaan dalam shalat, maka harus sujud dua kali.” [13]
Hukum sujud dalam kondisi ini adalah sunnah, bukan wajib. Agar far’i (cabang) tidak bertambah dari hukum asalnya.[14]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 2339)], Irwaa’ul Ghaliil (no. 339).
[2]. Fiqhus Sunnah (I/190).
[3]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/92 no. 1224)], Shahiih Muslim (I/399 no. 570), Sunan an-Nasa-i (III/19), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/347 no. 1021), Sunan at-Tirmidzi (I/242 no. 389), Sunan Ibni Majah (I/381 no. 1206).
[4]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (II/109-110)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/350 no. 1023), Sunan Ibni Majah (I/381 no. 1208). Yang harus diperha-tikan adalah, dalam hadits tidak dibedakam antara bangkit yang lebih dekat ke berdiri sehingga dia harus berdiri atau lebih dekat ke duduk sehingga ia harus duduk. Yang benar adalah sebagaimana dijelaskan dalam hadits bahwa jika ia teringat sebelum berdiri dengan sempurna, maka dia harus duduk, sekalipun dia telah hampir berdiri secara sempurna.
[5]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/93 no. 1226)], Shahiih Muslim (I/401 no. 572 (91)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/325 no. 1006), Sunan at-Tirmidzi (I/243 no. 390), Sunan Ibni Majah (I/380 no. 1205), Sunan an-Nasa-i (III/31).
[6]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/98 no. 1228)], Shahiih Muslim (I/403 no. 573), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/311 no. 995), Sunan at-Tirmidzi (I/247 no. 397), Sunan an-Nasa-i (III/30), Sunan Ibni Majah (I/383 no. 1214).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1001)], Shahiih Muslim (I/404 no. 574), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/323 no. 1005), Sunan an-Nasa-i (III/ 26), Sunan Ibni Majah (I/384 no. 1215).
[8]. Ibrahim tadi ragu. Yang benar adalah beliau menambah. Sebagaimana di-sebutkan oleh Ibnul Atsir dalam kitab Jaami’ul Ushuul (V/541).
[9]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/503 no. 401)], Shahiih Muslim (I/400 no. 572), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/326 no. 1007), Sunan an-Nasa-i (III/31), Sunan Ibni Majah (I/382 no. 1211).
[10]. Majmuu’ al-Fataawaa karya Ibnu Taimiyyah (XXIII/13).
[11]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 632)], Shahiih Muslim (I/400 no. 571), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/330 no. 1011), Sunan an-Nasa-i (III/27).
[12]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/24).
[13]. Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 917)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/357 no. 1025), Sunan Ibni Majah (I/385 no. 1219).
[14]. As-Sailuul Jarraar (I/275).


0 komentar:

Posting Komentar